JAKARTA, KOMPAS — Upaya islah yang diinisiasi para kiai sepuh Nahdlatul Ulama dalam Musyawarah Kubro di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, belum membuahkan hasil. Hingga batas waktu terakhir yang disepakati, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf belum juga bertemu dengan Rais Aam KH Miftachul Akhyar untuk membahas rekonsiliasi internal jam’iyah.
"Sampai saat ini, saya belum mendapatkan respons, tanggapan, atau jawaban atas permohonan saya untuk bertemu dengan Rais Aam. Saya belum mendapatkan jawaban dari Rais Aam mengenai permohonan itu sampai detik ini, sampai siang ini," ujar kata Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Yahya Cholil Staquf saat konferensi pers di Gedung PBNU, Jakarta, Rabu (24/12/2025).
Musyawarah Kubro yang digelar di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, 21 Desember lalu menghasilkan tiga rekomendasi. Pertama, kedua belah pihak yang berkonflik diminta melakukan islah (bertemu dan berdamai) secara sungguh-sungguh dengan batas waktu selambat-lambatnya tiga hari terhitung mulai Minggu (21/12/2025) pukul 12.00 WIB. Jika dihitung, tenggat islah akan jatuh pada hari Rabu (24/12/2025) tepat pukul 12.00 WIB.
Kedua, jika dalam batas waktu yang disepakati tidak ditemukan kesepakatan islah, musyawarah kubro meminta kepada kedua pihak untuk menyerahkan kewenangan dan kepercayaan kepada Mustasyar PBNU guna menyelenggarakan Muktamar Nahdlatul Ulama 2026 dalam waktu 1 x 24 jam setelah berakhirnya tenggat islah. Namun, jika opsi pertama dan kedua tidak terpenuhi, langkah ketiga adalah menyelenggarakan muktamar luar biasa (MLB) melalui penggalangan dukungan 50 persen + 1 PWNU dan PCNU.
Meskipun demikian, Gus Yahya menegaskan dirinya belum berputus asa dan tetap berkomitmen melanjutkan upaya islah. Sebab, islah dinilai tetap menjadi jalan terbaik untuk menjaga keutuhan jam’iyah Nahdlatul Ulama di tengah dinamika yang terjadi. Ia akan mencoba berbagai jalur komunikasi untuk bisa bertemu Rais Aam.
”Saya akan terus berusaha. Bagi saya, memang tidak ada jalan keluar yang maslahat selain islah,” ujarnya.
Selain itu, Gus Yahya menyatakan akan segera berkoordinasi dengan jajaran Pengurus Wilayah NU (PWNU), Pengurus Cabang NU (PCNU), serta Pengurus Cabang Istimewa NU (PCINU). Koordinasi dilakukan untuk merumuskan langkah-langkah lanjutan dalam menyelesaikan persoalan organisasi yang sedang dihadapi PBNU.
Kendati belum bertemu dengan Gus Yahya, Rais Aam telah menanggapi hasil musyawarah kubro di Lirboyo dengan mengeluar surat tabayun “Menempatkan Pemberhentian Ketua Umum dalam Koridor Konstitusi Jam’iyah”. Dalam surat itu, Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar menegaskan bahwa pemberhentian Ketua Umum PBNU sudah sesuai dengan aturan organisasi.
Gus Yahya lantas menanggapi surat tabayun Rais Aam dengan mengeluarkan surat tanggapan. Dalam surat tertanggal 24 Desember 2025 itu, Gus Yahya menyatakan bahwa keputusan Rapat Harian Syuriyah yang digelar di Hotel Aston pada 20 November 2025 beserta seluruh produk turunannya, termasuk penetapan penjabat Ketua Umum PBNU, tidak memiliki dasar konstitusional.
Ia menilai rangkaian peristiwa dan surat-menyurat yang dijadikan dasar oleh Rais Aam tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Jika keseluruhan konteks dipahami secara utuh dan jujur, keputusan tersebut dinilainya bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Nahdlatul Ulama dan dengan sendirinya batal demi hukum.
“Oleh karena itu, sebagai mandataris Muktamar yang bertanggung jawab menjaga konstitusi jam’iyah, saya menolak keputusan tersebut dan seluruh produk lanjutannya. Penolakan ini bukan karena kepentingan pribadi, melainkan demi menjaga marwah dan tatanan organisasi yang kita warisi dari para muassis,” kata Gus Yahya.
Meski demikian, Gus Yahya menegaskan tidak ingin perpecahan internal NU berlarut-larut dan merusak rumah besar organisasi. Sebab, energi NU terlalu berharga untuk dihabiskan dalam perselisihan internal.
Oleh karena itu, ia mengajak seluruh pihak untuk saling memaafkan dan membuka lembaran baru dengan semangat persaudaraan. Gus Yahya juga mendorong penyelesaian konflik melalui mekanisme musyawarah dengan menyiapkan Muktamar yang legitimate dan sesuai dengan AD/ART NU.
Gus Yahya menekankan, islah yang dimaksud adalah rekonsiliasi yang dibangun di atas kebenaran dan tatanan organisasi, bukan sekadar perdamaian yang mengabaikan prinsip-prinsip konstitusional jam’iyah. Dengan demikian, islah dapat membawa NU kembali pada tatanan.
"Kesalahan-kesalahan pribadi, ketidaknyamanan emosional dan lain sebagainya satu sama lain, ketersinggungan karena kata-kata yang kurang enak satu sama lain, mari kita saling memaafkan. Mari kita kembali kepada persaudaraan di antara kita semua," kata Gus Yahya.
Menanggapi pernyataan Rais Aam PBNU mengenai proses tabayyun terhadap dirinya, Gus Yahya mengakui memang telah terjadi pertemuan dengan Rais Aam sebanyak dua kali. Namun, ia menilai informasi yang beredar terkait durasi dan proses pertemuan tersebut tidak sepenuhnya akurat.
Gus Yahya menjelaskan, proses tabayun diawali dengan pertemuan pertama setelah dirinya dipanggil untuk menghadap Rais Aam PBNU. Ia mengaku diminta datang tanpa diberi penjelasan mengenai agenda pertemuan. “Saya diminta datang sendirian dan tidak diberi tahu keperluan pertemuannya apa,” katanya.
Dalam pertemuan tersebut, Gus Yahya diminta hadir seorang diri dan tidak diperkenankan membawa pendamping. Setibanya di lokasi, ia langsung disodori sejumlah dokumen berisi tuduhan-tuduhan. Karena tidak mengetahui agenda sebelumnya, ia datang tanpa membawa data dan dokumen pendukung yang diperlukan untuk memberikan penjelasan secara rinci.
“Saya datang tidak membawa apa-apa karena memang tidak diberi tahu sebelumnya bahwa akan membahas tuduhan-tuduhan itu,” ujarnya.
Gus Yahya menuturkan, pada pertemuan pertama itu, ia hanya dapat memberikan penjelasan secara umum mengenai konteks peristiwa yang dipersoalkan. Ia kemudian meminta pertemuan lanjutan agar dapat menyampaikan klarifikasi secara lengkap disertai dokumen pendukung.
Pertemuan kedua pun digelar di kantor PBNU. Dalam kesempatan tersebut, Gus Yahya menyatakan telah menyiapkan jawaban tertulis dan menyerahkannya kepada Rais Aam, selain menjawab pertanyaan secara lisan. Namun, permohonannya untuk menghadirkan bendahara PBNU guna memberikan penjelasan lebih rinci terkait persoalan keuangan tidak dikabulkan.
“Saya memohon agar bendahara bisa ikut hadir supaya penjelasannya lebih teliti, tetapi tetap diminta empat mata,” kata Gus Yahya.
Menurut Gus Yahya, seluruh pertanyaan dalam pertemuan kedua telah dijawab hingga tuntas dan tidak menyisakan pertanyaan lanjutan. Meski demikian, ia menyesalkan karena klarifikasi yang telah disampaikan tidak dijadikan bahan pertimbangan dalam Rapat Harian Syuriyah.
“Jawaban-jawaban yang saya sampaikan sama sekali tidak disampaikan dalam rapat dan tidak dijadikan bahan pertimbangan,” ujarnya.
Sebelumnya, Rais Aam menyebut, Syuriyah PBNU telah melakukan tabayun langsung kepada Gus Yahya sebanyak dua kali, masing-masing pada 13 November 2025 di Surabaya dan 17 November 2025 di Gedung PBNU, Jakarta. Dalam pertemuan kedua tersebut, Gus Yahya meminta undur diri lebih awal dari waktu yang telah disediakan.
Gestur tersebut kemudian dianggap cukup oleh Syuriyah PBNU untuk dibawa ke rapat lembaga Syuriyah. Rapat Harian Syuriyah PBNU pada 20 November 2025 menghasilkan keputusan pemberhentian Gus Yahya dari Ketua Umum PBNU.
Sementara itu, terkait tindak lanjut Musyawarah Kubro, Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar mengungkapkan bahwa pihaknya menerima dua utusan dari Pesantren Lirboyo pada Senin (22/12/2025) pagi. Kedua utusan tersebut menyampaikan harapan agar tidak terjadi kebuntuan komunikasi di tubuh PBNU.
Miftachul Akhyar menyebut permintaan tersebut sebagai sesuatu yang baik dan positif. Oleh karena itu, Syuriyah PBNU akan mengagendakan penyampaian penjelasan secara langsung kepada para Mustasyar PBNU.
”Karena itu, Syuriyah PBNU akan mengagendakan penyampaian penjelasan secara langsung kepada Mustasyar PBNU mengenai latar belakang, tahapan, prosedur, dan substansi keputusan Rapat Pleno PBNU yang akan diselenggarakan dalam waktu segera,” tuturnya.




