FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Mantan Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Yudi Purnomo Harahap, merespons keputusan penghentian penyidikan kasus dugaan korupsi izin tambang nikel yang disebut merugikan keuangan negara hingga Rp2,7 triliun.
Yudi mengatakan, langkah penghentian perkara atau Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) tersebut memunculkan pertanyaan besar di tengah publik.
“Kasus segede ini harus dijelaskan secara transparan dan akuntabel oleh KPK,” ujar Yudi di X @yudiharahap46 (27/12/2025).
Ia menegaskan, KPK perlu memberikan penjelasan yang terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.
“Mengapa di-SP3,” tandasnya.
Kata dia, kasus dengan potensi kerugian negara yang sangat besar seharusnya mendapat perhatian serius dan penanganan yang jelas.
Transparansi, kata Yudi, menjadi kunci untuk menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga antirasuah.
Yudi juga mengingatkan bahwa KPK memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk menjelaskan setiap keputusan strategis yang diambil.
Terlebih ketika menyangkut perkara besar yang berdampak luas pada perekonomian dan tata kelola sumber daya alam.
Sebelumnya, KPK mengonfirmasi penghentian penyidikan kasus dugaan korupsi izin pertambangan nikel yang disebut merugikan keuangan negara hingga Rp2,7 triliun.
Kabar tersebut dibenarkan langsung oleh Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo.
Ia menyampaikan bahwa lembaga antirasuah telah menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atas perkara yang terjadi dalam rentang waktu 2007-2014 itu.
“Untuk perkara tersebut, betul sudah diterbitkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan),” kata Budi Prasetyo, dikutip pada Jumat (25/12/2025).
Meski demikian, hingga kini belum ada penjelasan rinci dari KPK terkait dasar hukum penghentian penyidikan kasus tersebut.
Perkara ini sendiri berkaitan dengan dugaan korupsi dalam pemberian izin kuasa pertambangan eksplorasi dan eksploitasi, serta izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi nikel di Kabupaten Konawe Utara.
Dalam proses penyidikan sebelumnya, KPK pada Oktober 2017 telah menetapkan ASW sebagai tersangka. Saat itu, ASW menjabat sebagai Bupati Konawe Utara.
Wakil Ketua KPK kala itu, Saut Situmorang, mengungkapkan adanya aliran dana yang diterima ASW dari sejumlah pengusaha tambang.
“Indikasi kerugian negara sebesar (Rp) 2,7 triliun ang berasal dari hasil penjualan nikel karena perizinan yang melawan hukum, dan selain itu, ASW menerima (Rp) 13 miliar dari sejumlah perusahaan,” kata Saut kala itu.
Menurut KPK, uang tersebut berasal dari sedikitnya 17 perusahaan pertambangan nikel yang memperoleh izin eksplorasi dan eksploitasi di wilayah Konawe Utara.
Namun, penanganan kasus ini berjalan stagnan dalam beberapa tahun terakhir. Pada September 2023, KPK sempat kembali melanjutkan proses hukum dengan melakukan penahanan terhadap ASW.
Akan tetapi, penahanan tersebut urung dilaksanakan setelah KPK membatalkannya dengan alasan kondisi kesehatan tersangka yang dikabarkan harus mendapatkan perawatan medis.
Sejak saat itu, tidak ada lagi perkembangan berarti hingga akhirnya KPK menerbitkan SP3 pada tahun 2025.
(Muhsin/fajar)



