PT Pertamina Patra Niaga menyiapkan Biosolar Performance, varian biosolar non-subsidi yang diklaim mampu memangkas biaya operasional hingga 70%.
Perusahaan pelat merah itu mendata Biosolar Performance akan mengurangi kehilangan tenaga kuda dari 9,22% pada BBM campuran solar dengan 40% minyak sawit menjadi 3,44%. Selain itu, tendensi penyumbatan filter akan berkurang dari 5,09 poin menjadi 1,43 poin.
"Karena ini produk non subsidi, kami akan menjual produk ini dengan skema antar bisnis," kata VP Industrial, Marine, & Fuel Business PPN, Oos Kosasih, dalam konferensi pers di kantornya, Senin (22/12).
BBM ini ditujukan untuk sektor pertambangan, migas, dan manufaktur yang selama terdampak kenaikan biaya operasi akibat penggunaan biosolar. Kandungan air tinggi dalam biosolar membuat mesin kendaraan mudah rusak dan menambah frekuensi penggantian filter BBM.
Oos mencatat Biosolar Performance telah diuji di beberapa tempat, yakni pengeboran migas di Riau, pengeboran migas di Laut Natuna, dan kegiatan pertambangan di Tanjung Enim. Menurutnya, industriwan yang berminat memakai BBM tersebut harus mengontak langsung PPN.
Pertamian akan menyesuaikan ketersediaan Biosolar Performance sesuai dengan delapan area operasi PPN di penjuru negeri. Langkah terakhir sebelum transaksi adalah kuotasi harga sesuai dengan volume yang dibutuhkan masing-masing pelaku industri.
Seperti diketahui, pemerintah berencana meningkatkan campuran minyak sawit menjadi 50% pada tahun depan. Corporate Secretary PPN Roberth MV Dumatubun memastikan Biosolar Performance akan tetap dinikmati pelaku industri walaupun campuran biosolar bertambah.
Dengan demikian, Robert mensinyalir skema pencampuran B50 akan sama dengan B40, yakni hanya dilakukan pada biosolar bersubsidi. Karena itu, campuran minyak sawit dalam Biosolar Performance masih tetap 40%.
"Jenis Biosolar Performance jelas, yakni non subsidi. Karena itu, sektor manufaktur masih tetap bisa menggunakan BBM tersebut untuk alat berat dan mesin-mesin yang ada di industri," kata Roberth.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM menyatakan program B50 belum tentu wajib dilakukan oleh semua produsen Bahan Bakar Minyak jenis solar. Adapun keputusan mandatori program tersebut akan ditentukan dari tiga studi yang sedang dilakukan pemerintah.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi mengatakan tiga studi yang dilakukan adalah tekno ekonomi, harga indeks pasar, dan teknis implementasi. Menurutnya, studi tersebut dilakukan bersama produsen BBM, produsen minyak sawit, dan calon pengguna B50.
"Keputusan mandatori dalam program B50 akan menunggu hasil kajian tersebut. Kami mendiskusikan kajian tersebut dengan pemangku kepentingan agar bisa menentukan arah mandatori B50 seperti apa," kata Eniya dalam Indonesia Palm Oil Conference 2025, Kamis (13/11).

/https%3A%2F%2Fcdn-dam.kompas.id%2Fimages%2F2025%2F11%2F10%2Fc11ab24b42717f94f33b3cc4bd6c25a7-20251110ron06.jpg)

